1. Pengertian dan syarat-syarat
hadits shahih
Ibnu shalah mengemukakan definisi
hadis shahih, yaitu:
“Hadis shahih ialah hadis yang
sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari
orang yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak
mu’allal (terkena illat)
Ajjaj al-Khatib memberikan definisi
hadis shahih, yaitu:
“Hadis yang bersambungan sanadnya
melalui periwayatan perawi tsiqah dari perawi lain yang tsiqah pula sejak awal
sampai ujungnya (rasulullah saw) tanpa syuzuz tanpa illat”
Dengan demikian Ajjaj al-Khatib
mengemukakan syarat-syarat terhadap sebuah hadis untuk dapat disebut sebagai
hadis shahih, yaitu: a. muttashil sanadnya, b. Perawi-perawinya adil c. Perawi-perawinya dhabit d. Yang diriwayatkan tidak syaz, d. Yang diriwayatkan
terhindar dari illat qadihah (illat yang mencacatkannya)
Shubhi Shalih juga memberikan
rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam melihat keshahihan sebuah hadis,
yaitu:
a.
Hadis tersebut shahih musnad, yakni sanadnya bersambung sampai yang teratas.
b.
Hadis shahih bukanlah hadis yang syaz yaitu rawi yang meriwayatkan memang
terpercaya , akan tetapi ia menyalahi rawi-rawi yang lain yang lebih tinggi.
c.
Hadis shahih bukan hadis yang terkena ‘illat. Illat ialah: sifat tersembunyi
yang mengakibatkan hadis tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara
zahirnya terhindar dari illat.
Definisi-definisi dan rambu-rambu
yang diutarakan oleh muhaddisin tentang hadis shahih diatas, dengan kalimat
yang berbeda, namun tidak menunjukkan adanya perbedaan dalam pemahaman ciri
hadis shahih. Dengan kata lain, bahwa sebuah hadis dikatakan shahih, jika hadis
tersebut memiliki sanad yang bersambung (muttashil) sampai ke rasulullah saw.
dinukil dari dan oleh orang yang adil lagi dhabit tanpa adanya unsur syaz
maupun mu’allal (terkena illat).
Dengan
demikian apabila ada hadis yang sanadnya munqathi’, mu’dal dan muallaq dan
sebagainya, maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hadis shahih.
Demikian halnya dengan illat sebuat hadis, jika sebuah hadis memiliki illat
maupun syaz, maka tidak dapat disebut hadis shahih.
Meskipun definisi dan rambu-rambu
yang dikemukakan oleh muhaddisin tentang hadis shahih diatas tidak terdapat
perbedaan dalam pemahaman ciri-ciri hadis shahih, namun dalam penerapan
masing-masing persyaratan kadang-kadang tidak sama, misalnya dalam hal
persambungan sanad, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bersambung
sanadnya adalah apabila periwayat satu dengan periwayat thabaqah berikutnya
harus betul-betul “serah terima” hadis, peristiwa serah terima ini dapat
dilihat dari redaksi jadi tidak cukup hanya dengan sebab tidaklah menjamin
bahwa proses cukup hanya dengan pemindahan itu secara langsung.
2. Pembagian Hadis Shahih
Para ulama hadis membagi hadis
shahih menjadi dua macam:
a.
Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau
sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi” karena
telah memenuhi semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang
lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai dengan
sendirinya. Untuk lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan contoh hadis
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ
بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ
عَنْهُ ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ
صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ :
ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ
؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوك
Hadis yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih yang tidak terdapat ke-syaz-an
maupun illat.
b.
Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi (tidak memenuhi secara
sempurna syarat-syarat tertinggi hadis maqbul),yang diriwayatkan melalui sanad
yang lain yang sama atau lebih kuat darinya, dinamakan hadis shahih li ghairihi
karena predikat keshahihannya diraih melalui sanad pendukung yang lain. Berikut contoh hadis shahih li ghairihi yang diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi :
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي
لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاة. ٍ
Hadis tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li
ghairihi sebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat
Muhammad bin ‘Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang
sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun
keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi
derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari
Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).
Dari sini dapat kita ketahui bahwa
martabat hadis shahih ini tergantung kepada ke-dhabit-an dan ke-adil-an para
perawinya. Semakin dhabit dan semakin adil si perawi, makin tinggi pula
tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.yang diistilah oleh para
muhaddisin sebagai ashahhul asanid.
Ashahhul Asanid, yaitu rangkaian
sanad yang paling tinggi derajatnya, al-Khatib mengemukakan, bahwa dikalangan ulama
terdapat perbedaan pendapat mengenai ashahhul asanid, ada yang mengatakan:
1)
Riwayat Ibn Syihab az-Zuhry dari Salim Ibn Abdillah ibn Umar dari Ibn Umar.
2)
Sebagian lagi mengatakan: ashahhul asanid adalah riwayat Sulaiman al-A’masy
dari Ibrahim an-Nakha’iy dari Alqamah Ibn Qais dari Abdullah ibn Mas’ud.
3)
Imam Bukhari dan yang lain mengatakan, ashahhul asanid adalah riwayat imam
Malik ibn Anas dari Nafi’ maula Ibn Umar dari ibn Umar. Dan karena imam Syafi’i
merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan hadis dari Imam Malik dan
Imam Ahmad merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan dari Imam
Syafi’i, maka sebagian ulama muta’akhirin cenderung menilai bahwa ashahhul
asanid adalah riwayat Imam Ahmad dari Imam Syafi’i dari Imam Malik dari Nafi’
dari Ibn Umar r.a. inilah yang disebut silsilah ad-dzahab (mata rantai emas).
3. Kehujjahan Hadis Shahih.
Mengenai kehujjahan hadis shahih,
dikalangan ulama tidak ada perbedaan tentang kekuatan hukumnya, terutama dalam
menentukan halal dan haram (status hukum) sesuatu. Hal ini didasarkan pada
firman Allah, (Q.S al-Hasyr : 59) :
"Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,
Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya".
4. Kitab-kitab yang memuat Hadis
Shahih.
Manna’ Khalil al-Qatthan dalam
Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis, mengemukakan bahwa diantara kitab-kitab yang memuat
hadis shahih adalah:
a. Shahih
Bukhari
d. Shahih Ibn Hibban
b. Shahih
Muslim
e. Shahih Ibn Khuzaimah
c. Mustadrak al-Hakim
Sedangkan menurut Ajjaj al-Khatib
bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih adalah:
a. Shahih
Bukhari
e. Sunan an-Nasa’i
b. Shahih
Muslim
f. Sunan Ibn Majah
c. Sunan Abu
Daud
g. Musnad Ahmad ibn Hanbal
d. Sunan at-Tirmidzi
Nuruddin ‘Itr didalam kitabnya
Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis mengemukakan bahwa kitab-kitab yang memuat
hadis-hadis shahih antara lain:
a. al-Muwattha’
b. Shahih
Bukhari
c. Shahih Muslim
d. Shahih Ibn Khuzaimah
e. Shahih Ibn Hibban
B. Hadis Hasan
1. Pengertian Hadis Hasan
Hadis hasan ialah hadis
yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun kurang ke-dhabit-annya
(tidak terlalu kuat ingatannya) serta terhindar dari Syaz dan illat.
Perbedaan antara hadis Hasan dengan
Shahih terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih dan dhabit yang
kurang untuk hadis hasan
Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud
Thahhan dalam Musthalah Hadis mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan
oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan
illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila kedhabithannya kurang maka
itulah hadis hasan li dzatihi
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis shahih
seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya, kurang
ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih.
Berdasarkan pada
pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan
kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja pada
hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah
dari perawi hadis shahih.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
a.
Sanad hadis harus bersambung.
b.
Perawinya adil
c.
Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari
yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d.
Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
2. Pembagian Hadis Hasan
Hadis hasan dibagi menjadi dua,
yaitu:
a.
Hadis hasan li dzatihi
Hadis
hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria
hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain
untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.
Hadis hasan li ghairihi
Hadis
hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang
(lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik
atau pendusta.
Dengan demikian hadis hasan li
ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena
ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat
itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat
hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr
bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn Ishaq dari at-Taimy dan sanad
sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan
derajat shahih terendah.
Contoh hadis hasan:
حَدَّثَنَا
عَفَّانُ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، قَالَ أَنْبَأَنِي سَعْدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ،
عَنْ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ ، قَالَ : كَانَ مُعَاوِيَةُ قَلَّمَا يُحَدِّثُ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا وَيَقُولُ هَؤُلاءِ
الْكَلِمَاتِ قَلَّمَا يَدَعُهُنَّ ، أَوْ يُحَدِّثُ بِهِنَّ فِي الْجُمَعِ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ
خَيْرًا يُفَقِّهُّ فِي الدِّينِ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَال حُلْوٌ خَضِرٌ فَمَنْ
يَأْخُذْهُ بِحَقِّهِ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ
الذَّبْحُ.(رواه أحمد)
Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk
orang-orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut adz-Zahaby,Ma’bad
termasuk orang yang kurang ke-‘adilan-nya.
Contoh hadis shahih li ghairihi:
حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ
بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي
فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ
؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه
الترمذي)
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari
jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah bin Amir bin Rabi’ah,
dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mahar
sepasang sandal.
Kemudian at-Tirmidzi
berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama) dari ‘Umar, Abi
Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk
hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur
riwayat yang lain.
Hadis dha’if dapat ditingkatkan
derajatnya ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
a)
hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan
syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik
dari padanya.
b)
bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya
sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal.
Jadi hadis dha’if yang bisa naik
kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah,
sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun
syahid dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah
menjadi hasan.
3. Kehujjahan Hadis Hasan.
Hadis hasan sebagaimana kedudukannya
hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah dapat dijadikan
sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
Para ulama hadis dan ulama ushul
fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang kehujjahan hadis hasan ini.
4. Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan
Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if
adalah Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran
dalam menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis
hasan adalah:
a. Sunan at-Tirmidzy
b. Sunan Abu Daud
c. Sunan ad-Dar Quthny
C. Hadis Dhaif
1. Pengertian dan Pembagian
Hadis Dha’if
Dha’if menurut bahasa adalah lawan
dari kuat. Dha’if ada dua macam, yaitu lahiriyah dan maknawiyah. Sedangkan yang
dimaksud disini adalah dha’if maknawiyah.
Hadis dhaif menurut istilah adalah
“hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula
didapati syarat hadis hasan.”
Diantara para ulama terdapat
perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadis dhaif ini, akan tetapi pada
dasarnya isi dan maksudnya sama.
An-Nawawi mendefinisikannya dengan:
As-Suyuthi mendefinisikan hadis dhaif adalah:
“Hadis yang hilang salah satu syarat
atau keseluruhan dari syarat-syarat hadis maqbul, atau dengan kata lain hadis
yang tidak terpenuhi didalamnya syarat-syarat hadis maqbul”
Hadis dhaif apabila ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya, maka dapat
dibagi kepada dua bahagian, pertama: Dhaif disebabkan karena tidak memenuhi
syarat bersambungnya sanad. Kedua: Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya.
Dhaif disebabkan karena tidak
memenuhi syarat bersambungnya Sanad. Dhaif jenis ini di bagi lagi menjadi :
1) Hadis Mu’allaq
Hadis mu’allaq yaitu hadis yang pada
sanadnya telah dibuang satu atau lebih rawi baik secara berurutan maupun tidak.
Contohnya pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari:
قال مالك عن
الزهرى عن أبى سلمة عن أبى هريرة عن النبى "لا تفا ضلوا بين الأنبيأ
Dikatakan Muallaq karena Imam
bukhari langsung menyebut Imam Malik padahal ia dengan Imam Malik tidak pernah
bertemu. Contoh lain adalah,
قال ألبخارى
قالت العائشة كان النبى يذكر الله على كل أحواله
Disini Bukhari tidak menyebutkan
rawi sebelum Aisyah
2) Hadis Mursal
Hadis mursal menurut istilah adalah
hadis yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in, seperti bila seorang
tabi’in mengatakan,”Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda begini atau
berbuat seperti ini”. Contoh hadits ini adalah:
قال مالك عن
جعفر بن محمد عن أبيه أن رسول الله قضى باليمن والشاهد
Disini Muhammad bin Ali Zainul
Abidin tidak menyebutkan sahabat yang menjadi perantara antara nabi dan
bapaknya.
3) Hadis Munqathi'
Hadis munqathi’ menurut istilah para
ulama hadis mutaqaddimin sebagai “hadis yang sanadnya tidak bersambung
dari semua sisi”. Sedangkan menurut para ulama hadis mutaakhkhirin adalah
”suatu hadis yang ditengah sanadnya gugur seorang perawi atau beberapa perawi
tetapi tidak berturut-turut”
Contoh hadits ini adalah;
ما رواه عبد
الرزاق عن الثورى عن أبى إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفه مرفوعا إن وليتموها أبا
بكر فقوى أمين
Riwayat yang sebenarnya adalah Abdul
Razak meriwayatkan hadis dari Nukman bin Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri.
Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadis dari Abi Ishak, akan tetapi ia
meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari riwayat yang sesungguhnya kita dapat
mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadis yang munqthi’.
4) Hadis Mu'dhal
Hadis mu’dhal menurut istilah adalah
“ hadis yang gugur pada sanadnya dua atau lebih secara berurutan.”.
Contohnya :
Diriwayatkan oleh al-Hakim dengan
sanadnya kepada al-Qa’naby dari Malik bahwasanya dia menyampaikan, bahwa Abu
Hurairah berkata, “rasulullah bersabda,
للمملوك طعامه
وكسوته بالمعروف ، لا يُكلّف من العمل إلا ما يُطيق "
Al-Hakim berkata,” hadis ini mu’dhal
dari Malik dalam kitab al-Muwaththa’.,
Letak ke-mu’adalahan-nya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya yaitu
Muhammad bin ‘Aljan, dari bapaknya. Kedua perawi tersebut gugur secara
berurutan
5) Hadis Mudallas
Yaitu hadits yang diriwayatkan
dengan menghilangkan rawi diatasnya. Tadlis sendiri dibagi menjadi beberapa
macam;
a. Tadlis Isnad, adalah hadis yang
disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang semasa dengannya dan ia betemu
sendiri dengan orang itu namun ia tidak mendengar hadis tersebut langsung
darinya. Apabila perawi memberikan penjelasan bahwa ia mendengar langsung hadis
tersebut padahal kenyataannya tidak, maka tidak tidak termasuk mudallas
melainkan suatu kebohongan/ kefasikan.
b. Tadlis qath’i : Apabila perawi menggugurkan
beberapa perawi di atasnya dengan meringkas menggunakan nama gurunya atau
misalnya perawi mengatakan “ telah berkata kepadaku”, kemudian diam beberapa
saat dan melanjutkan “al-Amasi . . .” umpamanya. Hal seperti itu mengesankan
seolah-olah ia mendengar dari al-Amasi secara langsung padahal sebenarnya
tidak. Hadist seperti itu disebut juga dengan tadlis Hadf (dibuang) atau tadlis
sukut (diam dengan tujuan untuk memotong).
c. Tadlis ‘Athaf (merangkai dengan
kata sambung semisal “Dan”). Yaitu bila perawi menjelaskan bahwa ia memperoleh
hadis dari gurunya dan menyambungnya dengan guru lain padahal ia tidak
mendengar hadis tersebut dari guru kedua yang disebutnya.
d. Tadlis Taswiyah : apabila perawi
menggugurkan perawi di atasnya yang bukan gurunya karena dianggap lemah
sehingga hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya
saja, agar dapat diterima sebagai hadis shahih. Tadlis taswiyah merupakan jenis
tadlis yang paling buruk karena mengandung penipuan yang keterlaluan.
e. Tadlis Syuyukh: Yaitu tadlis yang
memberikan sifat kepada perawi dengan sifat-sifat yang lebih dari kenyataan,
atau memberinya nama dengan kunyah (julukan) yang berbeda dengan yang telah
masyhur dengan maksud menyamarkan masalahnya. Contoh: Seseorang mengatakan:
“Orang yang sangat alim dan teguh pendirian bercerita kepadaku, atau penghafal
yang sangat kuat hafaleannya brkata kepadaku”.
f. Termasuk dalam golongan tadlis
suyukh adalah tadlis bilad (penyamaran nama tampat). Contoh: Haddatsana fulan
fi andalus (padahal yang dimaksud adalah suatu tempat di pekuburan). Ada
beberapa hal yang mendasari seorang perawi melakukan tadlis suyukh, adakalanya
dikarenakan gurunya lemah hingga perlu diberikan sifat yang belum dikenal,
karena perawi ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak guru atau karena
gurunya lebih muda usianya hingga ia merasa malu meriwayatkan hadis darinya dan
lain sebagainya.
Dhaif karena terdapat cacat pada
perawinya
Sebab-sebab cela pada perawi yang
berkaitan dengan ke’adalahan perawi ada lima, dan yang berkaitan dengan
kedhabithannya juga ada lima.
Adapun yang berkaitan dengan
ke’adalahannya, yaitu: a) Dusta, b) Tuduhan, c) berdusta, d) Fasik, e)
bid’ah, f) al-Jahalah (ketidakjelasan)
Adapun yang berkaitan dengan
ke’adalahannya, yaitu: a) kesalahan yang, sangat buruk, b) Buruk hafalan, c)
Kelalaian, d) Banyaknya waham, e) menyelisihi para perawi yang tsiqah
Dan berikut ini macam-macam hadis
yang dikarenakan sebab-sebab diatas:
1) Hadis Maudhu'
Hadis maudhu’ adalah hadis
kontroversial yang di buat seseorang dengan tidak mempunyai dasar sama sekali.
Menurut Subhi Shalih adalah khabar yang di buat oleh pembohong kemudian
dinisbatkan kepada Nabi.karena disebabkan oleh faktor kepentingan. Contohnya adalah hadis tentang keutamaan bulan rajab yang
diriwayatkan Ziyad ibn Maimun dari shabat Anas r.a:
قيل يارسول الله
لم سمي رجب قال لأنه يترجب فيه خير كثبر
Menurut Abu Dawud dan Yazid ibn
Burhan, Ziyad ibn Maimun adalah seorang pembohong dan pembuat hadis palsu.
2) Hadis Matruk
Hadis matruk adalah hadis yang
diriwayatkan oleh perawi yang disangka suka berdusta. Contoh hadis ini adalah hadis tentang qadha' al hajat yang
diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya dari Juwaibir ibn Sa'id al Asdi dari dhahak
dari Ibn 'Abbas.
قال النبي عليكم
باصطناع المعروف فانه يمنع مصارع السوء ... الخ
Menurut an Nasa'i dan Daruqutni, Juwaibir
adalah orang yang tidak dianggap hadisnya.
3) Hadis Munkar
Hadis munkar adalah hadits yang
diriwatkan oleh perawi yang dhaif, yang menyalahi orang kepercayaan. perawi itu tidak memenuhi syarat biasa dikatakan seorang
dhabit. Atau dengan pengetian hadis yang rawinya lemah dan bertentangan dengan
riwayat rawi tsiqah. Munkar sendiri tidak hanya sebatas pada sanad namun juga
bisa terdapat pada matan.
4) Hadis Majhul
a. Majhul 'aini : hanya diketahui
seorang saja tanpa tahu jarh dan ta'dilnya.Contohnya hadis yang diriwayatkan
oleh Qutaibah ibn Sa'ad dari Ibn Luhai'ah dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn
Abi Waqas dari Saib ibn Yazid dari ayahnya Yazid ibn Sa'id al Kindi
ان النبي كان
اذا دعا فرفع يديه مسح وجهه بيده. اخرجه ابي داود
Hanyalah Ibn Luhai'ah yang
meriwayatkan hadis dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn Abi Waqas tanpa
diketahui jarh dan ta'dilnya.
b. Majhul hali :
diketahui lebih adari satu orang namun tidak diketahui jarh dan
ta'dilnya.contoh hadis ini adalah hadisnya Qasim ibn Walid dari Yazid ibn
Madkur.
ان عليا رضي
الله عنه رجم لوطيا. اخرجه البيهقى
Yazid ibn Madkur dianggap majhul
hali.
5) Hadis Mubham
Hadis mubham yaitu hadis yang tidak
menyebutkan nama orang dalam rangkaian sanad-nya, baik lelaki maupun perempuan. Contohnya adalah hadis Hujaj ibn Furadhah dari seseorang
(rajul), dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.
قال رسو ل الله
المؤمن غر كريم والفاجر خب لئيمز اخرجه ابو داود
6) Hadis Syadz
7) Hadis maqlub
Yang dimaksud dengan hadis maqlub
ialah yang memutar balikkan (mendahulukan) kata, kalimat, atau nama yang
seharusnya ditulis di belakang, dan mengakhirkan kata, kalimat atau nama yang seharusnya
didahulukan.
8) Hadis mudraj
Secara terminologis hadits mudraj
ialah yang didalamnya terdapat sisipan atau tambahan, baik pada matan atau pada
sanad. Pada matan bisa berupa penafsiran perawi terhadap hadits yang
diriwayatkannya, atau bisa semata-mata tambahan, baik pada awal matan, di
tengah-tengah, atau pada akhirnya.
9) Hadis mushahaf
Hadits mushahaf ialah yang terdapat
perbedaan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang kepercayaan, karena di
dalamnya terdapat beberapa huruf yang di ubah. Perubahan ini juga bisa terjadi
pada lafadz atau pada makna, sehingga maksud hadis menjadi jauh berbeda dari
makna dan maksud semula.
Selain hadis diatas masih terdapat
beberapa hadits lagi yang termasuk dha'if antara lain, mudhtharab, mudha'af ,
mudarraj, mu'allal, musalsal, mukhtalith untuk lebih jelasnya dapat dilihat
dalam buku Hasby as-Shiddieqy; Pokok-pokok dirayah ilmu hadis dan juga ‘Ajjaj
al-Khotib; Ushul al-hadits
2. Pengamalan Hadits Dha’if
Hadis dhaif pada dasarnya adalah
tertolak dan tidak boleh diamalkan, bila dibandingkan dengan hadis shahih dan
hadis hasan. Namun para ulama melakukan pengkajian terhadap kemungkinan
dipakai dan diamalkannya hadis dhaif, sehingga terjadi perbedaan pendapat
diantara mereka.
Ada tiga pendapat dikalangan ulama
mengenai penggunaan hadis dhaif:
a. Hadis dhaif tidak
bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail a’mal maupun ahkam.
pendapat ini diperpegangi oleh Yahya bin Ma’in, Bukhari dan Muslim, Ibnu Hazm,
Abu Bakar ibn Araby.
b. Hadis dhaif bisa digunakan
secara mutlak, pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Daud dan Imam Ahmad.
Keduanya berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat dari ra’yu perorangan.
c. Sebagian ulama
berpendapat bahwa Hadis dhaif bisa digunakan dalam masalah fadhail mawa’iz atau
yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat.
Ulama-ulama yang mempergunakan hadis
dhaif dalam fadhilah amal, mensyaratkan kebolehan mengambilnya dengan tiga
syarat:
1) Kelemahan hadis itu tiada
seberapa.
2) Apa yang ditunjukkan hadis
itu juga ditunjukkan oleh dasar lain yang dapat diperpegangi, dengan arti bahwa
memeganginya tidak berlawanan dengan suatu dasar hukum yang sudah dibenarkan.
3) Jangan diyakini kala
menggunakannya bahwa hadis itu benar dari nabi. Ia hanya dipergunakan sebagai
ganti memegangi pendapat yang tidak berdasarkan pada nash sama sekali.
D. Hadis Maudhu’
a.
Pengertian Hadis Maudhu’
Maudhu’ menurut bahasa artinya
sesuatu yang diletakkan, sedangkan menurut istilah adalah:
Hadis ini adalah yang paling buruk
dan jelek diantara hadis-hadis dhaif lainnya. Selain ulama membagi hadis
menjadi empat bagian: shahih, hasan, dhaif dan maudhu’. Maka maudhu menjadii
satu bagian tersendiri.
Hadis maudhu adalah: seburuk-buruk
hadis dhaif, hadis maudhu’ dinamakan juga hadis musqath, hadis matruk, mukhtalaq
dan muftara.
b.
Sejarah Munculnya Hadis Maudhu’
Para ulama berbeda pendapat tentang
kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis, berikut pendapat mereka:
a.
Menurut Ahmad Amin bahwa hadis maudhu’ terjadi sejak masa rasulullah masih
hidup.
b.
Shalahuddin ad-Dabi mengatakan bahwa pemalsuan hadis berkenaan dengan masalah
keduniaan yang terjadi pada masa rasulullah saw.
c.
Motivasi-Motivasi Munculnya Hadis Maudhu’
Hadis maudhu’ tidaklah bertambah
kecuali bertambahnya bid’ah dan pertikaian. Berdasarkan data sejarah, pemalsuan
hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang islam, tetapi juga dilakukan oleh
orang-orang non islam.
Ada beberapa motif yang mendorong
mereka membuat hadis palsu, antara lain:
a.
Pertentangan Politik
Perpecahan umat islam terjadi akibat
permasalahan politik yang terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib,
membawa pengaruh besar terhadap munculnya hadis-hadis palsu. Masing-masing
golongan berusaha mengalahkan lawannya dan berusaha mempengaruhi orang-orang
tertentu, salah satu usahanya adalah dengan membuat hadis palsu.
b.
Usaha Kaum Zindiq
Kaum Zindiq adalah golongan yang
membenci islam, baik sebagai agama maupun sebagai dasar pemerintahan. Mereka
merasa tidak mungkin dapat memalsukan Alqur’an sehingga mereka beralih
melakukan upaya pemalsuan hadis. Dengan tujuan ingin menghancurkan islam dari dalam.
c.
Sikap Fanatik Buta
Salah satu faktor upaya pembuatan
hadis palsu adalah adanya sifat ego dan fanatik buta tehadap suku, bangsa,
negeri dan pimpinan
Contoh golongan yang fanatik yaitu
ash-Syu’ubiyah yang fanatik terhadap bangsa persia, dia mengatakan “Apabila
Allah Murka, dia menurunkan wahyu dengan bahasa arab dan apabila senang dia
menurunkan dengan bahsa persia.
d.
Mempengaruhi Kaum Awam Dengan Kisah dan Nasehat
Kelompok yang melakukan pemalsuan
hadis ini bertujuan untuk memmperoleh simpati dari pendengarnya sehingga mereka
kagum melihat kemampuannya. Hadis yang mereka katakan terlalu berlebih-lebihan.
Bahkan ada hadis palsu yang
berbunyi: “nabi duduk bersanding dengan Allah diatas Arsy-nya”.
e.
Perselisihan dalam fiqhi dan ilmu kalam
Munculnya hadis palsu dalam masalah
fiqhi dan ilmu kalam, berasal dari para pengikut madzhab. Mereka melakukan
pemalsuan hadis karena ingin menguatkan madzhabnya masing-masing.
f.
Lobby dengan penguasa
Sebuah peristiwa yang terjadi pada
masa khilafah bani Abbasiyah, seorang yang bernama Ghiyats ibn Ibrahim pernah
membuat hadis yang disebutkannya didepan khalifah al-Mahdi yang menyangkut
kesenangan khalifah.
g. Semangat ibadah yang
berlebihan tanpa didasari pengetahuan.
Dikalangan para ahli ibadah ada yang
beranggapan bahwa membuat hadis-hadis yang bersifat mendorong agar giat
beribadah (targhib) adalah hal yang dibolehkan, dalam rangka ber-taqarrub
kepada Allah.
d. Kaidah-kaidah Untuk Mengetahui
Hadis Maudhu’
Para ulama hadis menetapkan
kaidah-kaidah untuk memudahkan melacak keberadaan hadis maudhu’, sehingga hadis
maudhu’ dapat diketahui dengan beberapa hal, antar lain:
a.
Pengakuan dari orang yang memalsukan hadis: seperti pengakuan Abi ‘Ismat Nuh
bin Abi Maryam, yang digelari Nuh al-Jami’, bahwa dia telah memalsukan hadis
atas Ibnu Abbas tentang keutamaan-keutamaan al-Qur’an surah persurah.
b.
Adanya indikasi pada perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya: misalnya
seorang perawi yang Rafidhah dan hadisnya tentang keutamaan ahlul bait.
c.
Adanya indikasi pada isi hadis, seperti: isinya bertentangan dengan akal sehat,
atau bertentangan dengan indra kenyataan, atau berlawanan dengan ketetapan
agama yang kuat dan terang, atau susunan lafazhnya yang lemah dan kacau,
misalnya apa yang diriwayatkan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari bapaknya
dari kakeknya secara marfu’,”bahwasanya kapal nabi Nuh thawaf mengelilingi
ka’bah tujuh kali dan shalat dua raka’at di maqam Ibrahim.”
e. Hukum Meriwayatkan Hadis maudhu’
Para ulama sepakat bahwanya
diharamkan meriwayatkan hadis maudhu’dari orang yang mengetahui
kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan penjelasan akan
kemaudhu’annya, berdasarkan sabda Nabi saw:
“barang siapa yang
menceritakan hadis dariku sedangkan dia mengetahui bahwa itu dusta, maka dia
termasuk para pendusta.”(HR.Muslim)






0 komentar:
Posting Komentar